Harapan se-Tanah Air membuncah usai Tim Nasional Sepak Bola Indonesia mengandaskan Filipina semalam. Bagaimana tidak, jalan Indonesia menuju Piala Dunia 2026 kini terbuka lebar. Setelah sekian lama, ada kans yang relatif besar bagi Garuda untuk berlaga di helatan pamungkas sepak bola dunia itu.
Dulu, Timnas juga sempat punya kesempatan terbuka yang sama. Ini kisahnya.
Tahunnya, 1957. Kala itu timnas memang benar-benar jago menggocek bola dan sangat mungkin bisa masuk Piala Dunia dengan keringat sendiri.
Era 1950-an adalah salah satu era paling jaya bagi sepak bola Indonesia. Wartawan senior Republika Alwi Shahab, semoga Allah merahmatinya, dalam tulisannya mengenang bahwa timnas Indonesia kala itu mengembangkan pola permainan jarak pendek dengan kecepatan, kelincahan, dan strategi yang tidak mudah terbaca lawan.
“Saat itu saya dan teman-teman bermain untuk Timnas berbekal dengan kebanggaan tinggi sebagai putra Indonesia. Dengan semangat nasionalisme dan jiwa merah putih di dada, kami berhasil menorehkan tinta emas dalam sejarah persepakbolaan di Indonesia,” tutur Maulwi Saelan, penjaga gawang timnas periode 1950-an kepada Abah Alwi.
Menjelang Olimpiade 1956 di Melbourne, Timnas Indonesia menjadi juara zona Asia. Raksasa-raksasa Asia terkini seperti Jepang, Korea Selatan, Iran, Arab Saudi, tak ada apa-apanya bagi timnas kala itu.
Di Melbourne, Indonesia harus melawan tim Uni Soviet yang kemudian menjadi juara olimpiade tersebut. Mereka berhasil menahan raksasa sepak bola dunia itu dengan skor kacamata alias 0-0.
"Kami bermain habis-habisan sehingga usai pertandingan banyak pemain kita yang diberi oksigen karena kelelahan," kata Maulwi Saelan. Ketika itu sekitar 50 persen pemain keturunan Tionghoa.
Prestasi PSSI era Saelan, Van der Vien, Ramang, Jamiat, Liong Houw, dan San Liong itu tak hanya karena bisa menahan seri Uni Soviet. Berbagai pertandingan uji coba mengindikasikan bahwa dari Asia, Indonesialah yang paling berpeluang masuk ke Piala Dunia 1958 yang bakal digelar di Swedia.
Kala itu, Asia dan Afrika belum memiliki federasi sepak bola terpisah. Sebanyak 11 negara yang ikut kualifikasi dari kedua benua dikumpulkan dalam satu kolam saat kualifikasi dimulai pada pertengahan 1957. Saat itu, FIFA masih kesulitan merayu negara-negara mengikuti Piala Dunia.
Tim-tim dari Asia dan Afrika itu kemudian dibagi dalam sejumlah grup prakualifikasi. Indonesia dalam grup pendahuluan itu tergabung dengan Cina dan Taiwan. Taiwan kemudian mengundurkan diri, menyisakan Indonesia dan Cina.
PSSI menghajar Cina 2-0 di Lapangan Ikada, Jakarta. Dua gola penyerang legendaris Andi Ramang menyegel kemenangan timnas kala itu. Pada pertandingan ulang di Beijing PSSI kalah tipis 3-4. Dua gol Indonesia saat itu disarangkan Ramang dan satu lagi oleh Endang Witarsa.
Untuk menentukan juara grup, dilakukan pertandingan di negara netral yakni Myanmar yang kala itu masih bernama Burma. Kedua kesebelasan kemudian bermain imbang 0-0 dan PSSI dinyatakan juara melalui agregat gol.
Di grup lain, Sudan mengalahkan Suriah, dan Mesir menang WO setelah Cyprus mengundurkan diri.
Sementara timnas Israel kala itu harus berhadapan dengan Turki pada babak prakualifikasi. Mengingat kondisi penjajahan Zionis Israel di Palestina, Turki menolak bertanding melawan Israel sebagai bentuk solidaritas dengan warga Palestina.
Akhirnya, Indonesia dikelompokkan dalam satu grup kualifikasi dengan Mesir, Sudan, dan Israel. Persoalan kemudian jadi pelik. Harus diingat, kala itu semangat antikolonialisme dan antiimperialisme sedang tinggi-tingginya. Masih ada sejumlah wilayah dikuasai kolonial Eropa.
Israel, oleh negara-negara bekas jajahan dilihat sebagai proyek kolonialis Inggris di Palestina yang sebenarnya sudah dijanjikan menjadi negara merdeka. Negara-negara Arab seluruhnya mencurahkan perhatian pada isu ini. Terkait dalih upaya melawan kolonialisme itu, Presiden Sukarno sedang dalam kampanye merebut Papua melalui Majelis Umum PBB yang bakal digelar pada 1957 itu juga.
Surat kabar warisan kolonial Belanda De Preangerbode menilai inilah faktor utama Indonesia pusing kepala saat harus menghadapi Israel. Indonesia takut kehilangan dukungan negara-negara Arab di PBB dalam upaya merebut Papua.
Tak seperti negara-negara Arab, PSSI sedianya bukan tak bersedia melawan Israel. Mereka hanya meminta pertandingan dua leg itu digelar di wilayah netral, bukan di Tel Aviv maupun Jakarta. FIFA sebenarnya tak keberatan dengan syarat tersebut. Meski begitu, namanya Zionis, Israel tetap keras kepala dengan memaksa bahwa salah satu pertandingan harus di Tel Aviv. Mereka tak keberatan jika leg yang semestinya dimainkan di Jakarta dipindah ke tempat netral.
Pada akhirnya, kondisi ini berlarut-larut sampai menjelang pertandingan pada Oktober 1957. FIFA akhirnya menganulir kesertaan Indonesia dengan alasan tak bersedia bertanding dengan Israel sebab persoalan politik.
Sementara Israel kemudian lolos babak kualifikasi tanpa memainkan satu pertandingan pun karena Mesir dan Sudan menolak bertanding melawan mereka. Mereka hanya disyaratkan memainkan dua pertandingan melawan Wales sebagai syarat bahwa peserta Piala Dunia minimal harus dua kali bermain sebelum babak final.
Bagaimanapun, apakah gegara perlu dukungan untuk merebut Papua, atau karena solidaritas terhadap warga Palestina; yang terjadi pada 1957 tersebut menunjukkan bahwa sepak bola bukanlah segalanya. Banyak hal yang jauh lebih penting ketimbang 22 lelaki atau perempuan berebut bola.