Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengakui pengusutan awal dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon pada 2016 lalu, tak didasari pada metode penyidikan yang berbasis scientific crime investigation. Hal tersebut diakui Sigit kemudian memicuberagam persepsi negatif atas hasil pengusutan lanjutan kasus yang kini ditangani oleh Polda Jawa Barat (Jabar) tersebut.
Sigit menegaskan, agar setiap penyidikan kepolisian selalu profesional, dan mengedepankan scientific crime investigation dalam setiap pengungkapan-pengungkapan kasus di masyarakat. Terutama dalam beban pembuktian.
“Menjadi penyidik agar profesional, dan terhindar dari perbuatan menyimpang, mengedepankan scientific crime investigation dalam pengungkapan perkara. Dalam pengungkapan perkara, bukti-bukti harus lebih terang dari cahaya,” kata Sigit dalam mandat yang dibacakan Wakapolri Komisaris Jenderal (Komjen) Agus Andrianto, Kamis (20/6/2024).
Amanat Kapolri yang dibacakan oleh Komjen Agus tersebut sebagai pidato sambutan dalam Penutupan Pendidikan dan Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Program Pendidikan Strata-1, dan Program Pascasarjana, di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian-Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK) di Jakarta, Kamis (20/6/2024). Dalam amanat Kapolri, kata Wakapolri menegaskan, tentang pentingnya profesionalitas penyidik kepolisian dalam pengungkapan suatu perkara.
Dalam penyampaian tersebut, Kapolri juga menyinggung perbandingan dua penanganan kasus pembunuhan yang terjadi di Nabire-Papua pada 2023, dan kasus pembunuhan Vina-Eky di Cirebon 2016. Kapolri mengatakan, pengungkapan kasus pembunuhan Dokter Mawartih yang terjadi di pelosok timur Indonesia itu, tim penyidik kepolisian mampu mengusut para pelakunya secara profesional dengan menjadikan scientific crime investigation sebagai metode pembuktian yang akurat.
Namun kata Kapolri, pengusutan kasus Vina dan Eky pada 2016 lalu, tak didukung dengan metode scientific crime investigation. Sehingga, kata Kapolri, memunculkan spekulasi-spekulasi yang berujung pada penilaian terhadap institusi kepolisian, atas kompetensi dan integritas dari para penyidiknya.
“Saya mencontohkan dalam pengungkapan kasus pembunuhan Dokter Mawartih di Papua, berdasarkan scientific crime investigation, pelakunya berhasil diidentifikasi dengan hasil pengujian sampel DNA pada barang bukti. Namun pada kasus pembunuhan Vina dan Eky, pembuktian awal (2016) tidak didukung dengan scientific crime investigation. Sehingga timbul isu persepsi negatif, terdakwa mengaku diintimidasi, terjadi korban salah tangkap, dan penghapus dua DPO yang dianggap tidak profesional,” kata Kapolri.
Sebab itu, Kapolri, kata Wakapolri mengingatkan kepada para penyidik kepolisian untuk melakukan penyidikan setiap perkara hanya mengacu pada pembuktian yang diperoleh dari scientific crime investigation.
“Oleh karena itu, lakukan penegakkan hukum secara transparan, dan (yang) dapat dipertanggungjawabkan melalui penyidikan berdasarkan scientific crime investigation untuk mengungkap suatu perkara pidana. Hindari pengambilan kesimpulan penanganan perkara secara terburu-buru sebelum seluruh bukti dan fakta lengkap dikumpulkan yang tentunya melibatkan ahli pada bidangnya,” sambung Kapolri.
Menurut dia, pun agar penyidik kepolisian selalui mengambil sikap proaktif dalam menyampaikan setiap perkembangan dari penanganan perkara pidana yang ditangani. Serta, kata Kapolri dengan tetap mengambil prinsip penegakan hukum, juga kepastian hukum sebagai solusi.
Kapolri juga menegaskan, agar setiap penyidik kepolisian melakukan penindakan hukum tanpa perlu pandang bulu terhadap setiap pelaku-pelaku kriminal yang meresahkan masyarakat. Menurutnya, penyidik juga harus memiliki sense of crisis, tidak hanya mampu memastikan tegaknya hukum namun juga harus mampu memberikan solusi dan menyelesaikan masalah masyarakat serta menghindari penegakkan hukum yang mencederai rasa keadilan yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat.
"Dan penyidik harus mampu segera memberikan kepastian hukum terhadap setiap perkara yang dilaporkan. Dan melakukan tindakan tegas tanpa pandang bulu terhadap kejahatan di masyarakat,” kata Kapolri.
Sementara itu, enam terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon pada 2016 silam telah memberi kuasa kepada Peradi sebagai kuasa hukum. Mereka pun bersiap tengah melakukan upaya hukum yaitu peninjauan kembali (PK) dalam kasus tersebut.
Keenam orang terpidana dari tujuh orang yang saat ini menjalani hukuman seumur hidup tersebut yaitu Rivaldi Wardana, Eko Ramadhani, Jaya, Supriyanto, Eka Sandi, Hadi Saputra. Sedangkan satu terpidana lain Sudirman tengah menjalani pemeriksaan.
Jutek Bongso, kuasa hukum para terpidana mengatakan telah mendatangi para terpidana diantaranya di Rutan Kebonwaru Bandung. Ia menyebut keenam terpidana resmi menunjuk Peradi sebagai kuasa hukum langsung dalam kasus pembunuhan Vina.
"Keenam terpidana memberikan kuasa langsung, selama ini dari keluarganya, memberikan kuasa langsung dan mengajukan PK," ucap dia saat dikonfirmasi, Kamis (20/6/2024).
Jutek menuturkan, pihaknya diizinkan menemui narapidana oleh Kepala Kanwil Kemenkumham Jabar. Namun, hanya enam orang yang berhasil ditemui dan memberikan kuasa langsung.
Jutek mengatakan salah satu terpidana yaitu Sudirman tidak berada di tahanan karena sedang menjalani pemeriksaan oleh Polda Jawa Barat. Ia mengaku tidak mengetahui alasan pasti Sudirman diijinkan keluar tahanan.
"Yang berhasil kami temui enam dari tujuh narapidana satu tidak berhasil ditemui di lapas bernama Sudirman karena saat ini di bon dibawa keluar lapas," kata dia.
Ia menambahkan kuasa langsung dari keenam terpidana sudah dipegang oleh tim hukum Peradi. Pihaknya saat ini langsung bekerja mengumpulkan novum untuk mengajukan PK.
"Hari ini kami sampaikan kuasa langsung sudah berhasil dipegang, tim hukum Peradi kami mulai bekerja mengumpulkan novum dalam rangka mengajukan PK atas peristiwa 2016," kata dia.
Ia mengatakan akan bekerja cepat dan cermat mengumpulkan novum atau bukti baru. "Kami bekerja secepat dan secermat mungkin. Novum masih dalam proses pengumpulan," kata dia.
Sebelumnya, Ketua Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) Otto Hasibuan menyebut lembaganya siap menjadi tim kuasa hukum dari lima terpidana kasus pembunuhan Vina Cirebon. Sebab, Otto mengatakan, lima terpidana ini diduga merupakan korban salah tangkap dari kasus Vina Cirebon.
Hal tersebut menurut Otto diperkuat lewat bukti berupa keterangan para saksi yang menyebut saat peristiwa pembunuhan terjadi, para terpidana tak berada di lokasi. Menurut keterangan saksi yang dihimpun Otto, ketika itu lima terpidana berada di rumah anak Ketua RT di Cirebon.
"Mereka tidur di rumahnya di rumah anaknya Pak RT. Sehingga kalau ini benar maka berarti peristiwa mereka melakukan pembunuhan itu adalah pasti tidak benar," ucap Otto, Senin (10/6/2024).
Menurut Otto, meski dirinya baru sekilas membaca putusan, keterangan keluarga dan kuasa hukum Sudirman, serta perkembangan saat ini, banyak kejanggalan dalam penanganan perkara pembunuhan Vina dan Eky yang melibatkan Sudirman dkk. Salah satu yang paling mencolok, yakni dalam dakwaan atau putusan disebutkan bahwa pelaku pembunuhan Vina dan Eky sebanyak 11 orang, delapan orang sudah divonis dan tiga orang dinyatakan buron.
Ketiga buronan tersebut, yakni Dani, Andi, dan Pegi Setiawan alias Perong. Belakangan dua buronan dinyatakan fiktif oleh polisi setelah mereka menangkap Pegi.
“Kalau Andi dan Dani fiktif, maka cerita yang ada dakwaan ini fiktif. Kalau ini fiktif, berarti ini perkaranya jadi fiktif. Karena ada peran orang, yakni Andi dan Dani tapi ternyata orangnya tidak ada. Bagaimana ini bisa terjadi?" katanya mempertanyakan.
Dalam dakwaan diuraikan, bahwa Andi dan Dani juga berperan membawa mayat Vina dan Eky ke jembatan flyover. Tak hanya itu, hasil autopsi kedua jenazah tersebut tidak menjadi pertimbangan majelis hakim pengadilan.
"Dalam hasil autopsi, kedua korban mengalami luka memar dan lebam. Namun, dalam dakwaan disebutkan korban mengalami luka tusuk senjata tajam seperti samurai. Ini hal-hal yang kami lihat, untuk upaya kami mengajukan peninjauan kembali (PK), tapi kami harus meneliti lebih dalam, ini baru analisis secara hukum bahwa ini keanehan sangat luar biasa kalau betul faktanya seperti itu," kata Otto menegaskan.
Otto menambahkan bahwa berdasarkan keterangan keluarga, Sudirman yang sudah menjadi terdakwa pembunuhan Vina itu diindikasikan memiliki keterbelakangan mental.
"Karena menurut mereka ini Sudirman ini kata mereka tadi istilah idiot sebenarnya, ya begitu istilahnya kali ya? Kurang, di bawah rata-rata, katanya," ucapnya.
Sudirman merupakan salah satu dari 11 terdakwa yang dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan dan sudah dilakukan penahanan atas kasus pembunuhan Vina dan Eky. Sudirman sendiri divonis hukuman penjara seumur hidup atas keterlibatannya dalam kasus pembunuhan tersebut.