Pucuk pimpinan perusahaan tembaga Amerika Serikat (AS), Freeport-McMoran, saat ini adalah seorang perempuan, Kathleen L. Quirk. Ia resmi menjadi CEO Freeport pada 11 Juni 2024 lalu, menggantikan Richard C. Adkerson yang pensiun.
Quirk menjadi satu-satunya CEO perempuan di sebuah perusahaan pertambangan besar. Dirinya bergabung dengan Freeport pada tahun 1989 dan naik pangkat sebelum diangkat menjadi chief financial officer pada tahun 2003.
Selama dua dekade terakhir ia bekerja sejajar dengan CEO pendahulunya Richard Adkerson. Mengutip Bloomberg, Rabu (19/6), Quirk mewarisi perusahaan yang sedang naik daun.
Saham Freeport telah meningkat sekitar 30 persen pada tahun lalu, melampaui kenaikan tembaga berjangka sebesar 17 persen. Perusahaan ini telah menjadi salah satu produsen tembaga terbesar di dunia dan perusahaan pertambangan andalan AS ketika pemerintah negara-negara barat berusaha mengamankan pasokan logam penting dan investor mulai masuk ke pasar tembaga.
Fokus Buka Tambang Bernilai Besar
Sebagai bos baru, Quirk mengatakan, dia akan fokus untuk membuka tambang tembaga yang bernilai besar, dalam upaya “agresif” untuk meningkatkan pasokan logam tersebut seiring dengan meningkatnya permintaan global.
Bloomberg menyebut, raksasa tembaga Amerika ini telah menghasilkan keuntungan yang besar dalam beberapa tahun terakhir dari operasinya di Amerika dan Indonesia, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa perusahaan tersebut dapat mengalihkan keuntungan tersebut ke arah pengambilalihan setelah bertahun-tahun tidak diikutsertakan.
Freeport telah menghabiskan sebagian besar dekade terakhirnya untuk memangkas biaya, mengurangi utang, dan menyelesaikan perselisihan selama bertahun-tahun mengenai kepemilikan tambang Grasberg dengan pemerintah Indonesia.
Namun Quirk mengatakan dia tidak merasakan tekanan apa pun untuk mengikuti pesaingnya seperti BHP Group dalam mengupayakan akuisisi besar dan transformasional.
Sebaliknya, perusahaan yang berbasis di Arizona ini sangat bergantung pada teknologi yang bertujuan untuk mengekstraksi tembaga dari batuan sisa yang telah terakumulasi selama beberapa dekade.
Selama tiga hingga lima tahun ke depan, Quirk mengatakan, perusahaannya berharap dapat menghasilkan produksi tahunan sebanyak 800 juta pon tembaga melalui teknologi pemrosesan semacam itu – setara dengan seperlima dari total produksi saat ini.
“Itu sebesar tambang besar. Itu berarti. Tim kami bekerja sangat agresif untuk menyelesaikannya,” kata Quirk dalam sebuah wawancara di New York dikutip Bloomberg.
“Saya sangat fokus pada masalah ini, karena ketika kita melihat-lihat, kita tahu betapa sulitnya mengembangkan pasokan baru,” tegasnya.
Ambisi Freeport menanggapi permasalahan yang semakin mendesak bagi industri dan dunia. Tembaga merupakan kunci transisi energi, dan permintaan tahunan kemungkinan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2035, menurut beberapa perkiraan. Namun produsen logam ragu-ragu mengeluarkan uang untuk membangun tambang baru, karena biaya pembangunannya semakin mahal.
Meskipun demikian, Freeport sedang bergulat dengan tantangan. Di Arizona, perusahaan tersebut telah mulai mengubah truk pengangkut pertambangan menjadi kendaraan otonom untuk mengatasi krisis tenaga kerja yang terus berlanjut. Nilai bijih yang lebih rendah di tambang-tambang tua di AS juga telah meningkatkan biaya di tengah tingginya inflasi.
“Saat ini dunia membutuhkan banyak tembaga, dan tidak banyak penjual yang bersedia,” katanya, seraya menambahkan bahwa dia masih bersedia menjajaki peluang yang dapat menambah nilai bagi Freeport.