Puluhan Mahasiswa yang tergabung dalam Front Pelajar Mahasiswa/i Peduli Alam dan Manusia atau FPMPAM Papua Tengah menggelar mimbar bebas untuk menolak sebuah perusahaan ilegal yang merebut Sumber Daya Alam Papua, dalam aksinya yang bertajuk “Kapitalisme dan Konflik perebutan sumber daya alam Papua”.
Pihaknya menggelar aksi mimbar bebas mulai pukul 08:00 WIT di Halaman Asrama Mimika Perumnas Satu Kota Jayapura Papua pada Selasa (18/6/2024). Dalam aksi itu pihaknya membentangkan sejumlah spanduk yang salah satu bertuliskan, “Stop, Pendropan Militer, Stop Pendropan Transmigran, stop Pendropan PT. Ilegal, dan Papua bukan Tanah kosong.
“Sebelum ada aturan negara, aturan masyarakat adat sudah ada, maka itu kita tetap lawan, tidak mungkin orang dari negara lain datang mengurus nasib kita, untuk menentukan nasib hanya di tangan kita dan TPNPB itu sendiri. Kawan-kawan orang yang sudah pake lambang Garuda di dada tidak mungkin akan bicara untuk berdiri di atas tanah kita ini sendiri. Dalam negeri Indonesia ini kita hidup dalam api neraka,” ucap Jarinus Murib, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Papua.
Sementara, dari perwakilan perempuan Papua Abner Dou mengatakan, kehadirannya dalam aksi mimbar bebas itu merupakan perwakilan sebagai seorang mama.
“Saya sebagai mama pesan kalau hutan ada berarti air akan mengalir, tapi tidak utang itu air mata mama akan mengalir, jadi hanya satu kata, saja lawan,” ujarnya.
Puluhan mahasiswa berorasi secara bergantian di Halaman Asrama Mimika perumnas satu Kota Jayapura Papua pada Selasa (18/6/2024).-Jubi/ Pes Yanengga.
Pernyataan sikap
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Papua Tengah diminta segera mencabut izin usaha pertambangan sebanyak 45 izin yang dikeluarkan tanpa meminta persetujuan masyarakat adat. Lalu, dalam pernyataan sikap ini, mereka meminta elit politik Papua segera bertanggungjawab atas izin usaha pertambangan yang dikeluarkan secara ilegal tidak memiliki landasan hukum yang tetap.
Lalu mereka juga meminta agar, menghentikan segala upaya pertambangan ilegal dan non ilegal yang tidak memiliki kajian Amdal dengan mengatasnamakan pembangunan. Pemerintah Kabupaten Deiyai, Dogiay dan Mimika diminta segera memperjelas tapal batas di Mimika Barat dan Kapiraya.
“Pemerintah Provinsi Papua Tengah segera mempertegas dan menindak tegas perusahaan ilegal yang sedang beroperasi di Kapiraya. Kami menolak tegas rencana pertambangan milik negara yang berskala besar di kabupaten Nabire, Timika, Deiyai, Dogiay, Paniai, Intan Jaya, Puncak Jaya, dan Puncak Papua,” dalam orasi mereka.
“Kami dengan tegas menolak perencanaan pertambangan Balok Wabu di Kabupaten Intan Jaya. pemerintah Provinsi Papua Tengah segera membentuk peraturan daerah tentang perlindungan hak-hak Masyarakat adat. Kami mendukung perjuangan masyarakat adat suku Awuyu dan suku Moi dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Kami mendukung perjuangan masyarakat Suku Hubula dalam memperjuangkan hak tanah adat dan menolak rencana pembangunan kantor gubernur Provinsi Papua Pengunungan atas tanah masyarakat milik masyarakat adat. Segera tarik militer organik maupun non organik di seluruh tanah Papua,” sambungnya dalam orasi. (*)