Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Dinamika Hukum Indonesia Abnormal dan Hadapi Pembusukan Yudikatif

 

Oleh: Petrus Selestinus SH

Jakarta, Fusilatnews.- Putusan Mahkamah Agung (MA) No 23P/HUM/2024 tertanggal 29 Mei 2024 yang mengubah ketentuan batas minimal usia Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota sama diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 9 Tahun 2020 mengagetkan pubik.

Mengapa? Oleh karena belum selesai memuat soal kontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 90/PUU-XXI/2023 tertanggal 16 Oktober 2023, yang memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, menuju calon wakil presiden (cawapres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, kini publik dikejutkan lagi dengan Putusan MA No 23P/HUM/2024 tersebut yang kontroversial juga, karena disebut-sebut untuk memuluskan jalan bagi pencalonan Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi sebagai calon gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ).

Masyarakat menghubungkan Putusan MA No 23P/2024 dengan politik dinasti, nepotisme dan kronisme Jokowi, karena nyatanya dinasti politik wong Solo itu semakin menguat, sehingga sangat beralasan resistensi dari publik atas penguatan dinasti politik Jokowi melalui sistem nepotisme dan kroniisme di lintas lembaga tinggi negara secara vertikal yang sudah “tak terbendung lagi”.

Artinya, jika seorang anak pejabat atau penjahat ekonomi atau pengusaha kaya ingin menjadi pejabat di suprastruktur politik, maka cukup dengan mengubah peraturan perundang-undangan melalui proses uji materi, karena hanya dalam waktu singkat, semua hal menjadi lebih instan, pragmatis dan legal, dan ini yang sedang menjadi trend di jagad politik Indonesia saat ini.

Hakim Melacurkan Diri

Jika memperhatikan seluruh butir ketentuan Pasal 4 ayat (1) PKPU No 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota, maka tampak jelas bahwa rumusan butir-butir ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU tersebut sama tetap dengan rumusan butir-butir ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, karena KPU hanya mengkopi paste butir-butir tersebut.

Itu berarti ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No 9/2020 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No 10/2016, sehingga jika ingin mengubah maka terlebih dahulu harus mengubah ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No 10/2016.

Oleh karena itu, tidak terdapat alasan yuridis, sosiologis dan filosofis untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No 9/2020 bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No10/2016 karena sama-sama bertahan bahkan membuat Putusan MA No 23P Tahun 2024 bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No 10/2016.

Putusan uji materi MA dalam Perkara No 23P/HUM/2024 yang mengubah substansi Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No 9/2020 dan menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No 9/2020 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu UU No 10/2016, dan jelas hal ini merupakan sebuah politisasi, melacurkan profesi hakim, dan hanya menciptakan ruang hukum.

Alasannya, karena KPU tetap terikat dengan keharusan yang diperintahkan oleh ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) huruf e UU No 10/2016 bahwa calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan walikota dan wakil walikota sebagaimana dimaksud ayat (1), yaitu “harus memenuhi persyaratan sebagai berikut termasuk syarat huruf e”.

Harmonisasi Mencurigakan

MA ternyata terjebak dalam pusaran politik pragmatisme, nepotisme dan kronikisme yang mengalahkan segala sistem tata negara, tata pemerintahan dan tata hukum Indonesia, serta tergantung perintah dan siapa yang memerintahkan.

Oleh karena itu, orang lalu ingin menjadi politisi (pejabat negara) cukup dengan meminta lembaga yudikatif mengubah satu dua ayat atau pasal dari suatu UU atau suatu peraturan perundang-undangan lainnya, tanpa harus melalui proses legislasi yang melelahkan dengan biaya tinggi.

Hal yang aneh dalam uji materil PKPU No 9/2020 adalah tampak sekali Hakim MA melakukan proses maraton lewat jalan tol, karena proses super kilat, jika dilihat dari tanggal permohonan disampaikan pada 23 April 2024; didistribusikan ke Majelis Hakim tanggal 27 Mei 2024; dan memutuskan Majelis Hakim pada tanggal 29 Mei 2024.

Secepat kilat proses sidang di MA untuk memutus perkara No 23 P/HUM/2024, hanya dua hari sidang langsung diputuskan. Bisa saja karena MA didesak agar mengikuti irama maraton di saat KPU sedang kebut mengubah PKPU No 9/2020 yang katanya sedang dalam proses harmonisasi rencana perubahan.

Ciptakan Kevakuman

Mengubah dan menyatakan tidak sah Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No 9/2020, tanpa terlebih dahulu mengubah Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No 10/2016, maka Hakim MA bisa dinilai menciptakan kekosongan atau kevakuman hukum dan menempatkan KPU dalam posisi dilematis, karena mengubah rumusan Pasal 4 ayat (1) huruf d tanpa mengubah Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No10/2016, mustahil dilakukan karena itu adalah sebuah anomali.

Begitu pula dengan syarat-syarat lainnya, jika MA mau mengubah Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No 9/2020, maka syarat-syarat lainnya dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf w, juga harus diubah atau berlaku sama, yaitu semua Diberlakukan saat pelantikan, karena persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Mazmur 4 ayat (1) huruf d memiliki derajat yang sama dengan sifat absolut yang sama tanpa ada yang sifatnya.

Inilah kekonyolan hakim kita dan hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Prof Mahfud MD bahwa kolaborasi antara pejahat ekonomi dan pejabat di pemerintahan dalam merumuskan kebijakan politik, kelak akan membahayakan dan merugikan rakyat, dan kasus ini merupakan salah satu fenomena ke arah kerusakan sistem akibat kolaborasi yang menjebak dan pejabat.

Dengan demikian, dipastikan Putusan MA No 23P/2024 jelas tidak dapat dilaksanakan oleh KPU karena bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No 10/2016 dan bertentangan dengan prinsip “lex superior derogat legi inferiori”.

Petrus Selestinus SH, Advokat dan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.com | All Right Reserved