Semua orang mengetahui bahwa orang dari etnis Tionghoa pandai berdagang. Sejarah Indonesia mencatat mereka sudah berdagang jauh sebelum para penjajah Eropa datang.
Bahkan, kepiawaian mereka berdagang sampai membuat orang Indonesia mengira semua keturunan Tionghoa di Indonesia kaya raya. Faktanya, tak semuanya begitu.
Namun, hal tersebut tak mengubah fakta utama bahwa orang Tionghoa pandai berdagang. Sekarang, ditambah dengan arus globalisasi, fakta tersebut masih tetap bertahan. Malah warga Tionghoa sangat mendominasi perdagangan.
Meski begitu, fakta tak terbantahkan ini terkadang memantik sikap rasialis. Salah satunya dilakukan oleh Soekarno di tahun 1959. Bagaimana ceritanya?
Kuatnya Bisnis Orang Tionghoa
Setelah Soekarno melakukan pengusiran puluhan ribu warga Belanda dan menasionalisasi lini bisnis mereka pada 1957, komunitas Tionghoa muncul sebagai elemen terkuat dari perekonomian.
Di pedesaan, orang Tionghoa mempunyai fondasi ekonomi kuat. Dalam pertanian, misalnya, mereka sudah menguasai kendali dari hulu ke hilir. Mulai dari penggilingan padi sampai perdagangan.
Atas fakta demikian, menurut Thee Kian Wie dalam "Indonesia's Economic Policies and The Ethnic Chinese" (2003: 88), hanya tinggal menunggu waktu saja bagi warga Tionghoa, baik itu WNI atau WN China, untuk menjadi sasaran berikutnya: bernasib sama seperti orang Belanda.
Terlebih, ekonomi Indonesia kala itu sedang kacau. Inflasi sudah melonjak. Hasil nasionalisasi perusahaan Belanda tak berjalan baik.
Kekuatan ekonomi warga Indonesia, yang masih disebut sebagai pribumi, juga masih lemah. Semua itu lengkap dengan balutan sentimen terhadap warga Tionghoa.
Larangan pertama terhadap warga Tionghoa di perdesaan berbisnis dikeluarkan Menteri Perdagangan, Rachmat Muljomiseno, pada 14 Mei 1959.
Lewat Surat Keputusan Nomor 2933/M tanggal 14 Mei 1959, Rachmat punya niat mempercepat proses pengusaha nasional dalam perdagangan melalui pembatasan surat izin perusahaan dan perdagangan asing.
Peraturan ini kemudian ditegaskan kembali oleh aturan setingkat lebih tinggi, yakni Peraturan Presiden. Pada 16 November 1959, Soekarno meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 1959 tentang Larangan Bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing Diluar Ibu Kota Daerah Swatantra Tingkat I dan II Serta Karesidenan.
Kedua aturan punya isi serupa: membatasi waktu pedagang asing berbisnis di perdesaan sampai 31 Desember 1959. Setelahnya mereka harus berbisnis di perkotaaan.
Bisnis yang dibatasi berupa warung, toko kelontong atau bentuk lain yang serupa. Setelah lewat batas waktu, seluruh bisnis tertinggal bakal dikelola orang Indonesia. Meski tertulis asing, semua orang saat itu mengetahui sasaran utamanya adalah bisnis orang Tionghoa.
Pemindahan dan Pengusiran
Pelaksanaan aturan tersebut didukung penuh oleh tentara. Sejarawan M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999:167) menceritakan para tentara mulai memindahkan paksa warga Tionghoa di pedesaan ke daerah-daerah lain atau perkotaan.
Selain itu, tak sedikit pula yang dipulangkan ke negeri asalnya. Data yang dihimpun Ricklefs menyebut selama 1960-1961 ada 119.000 warga Tionghoa dipulangkan ke China. Bagi mereka yang mendukung, kebijakan ini jadi angin segar bangkitnya usaha pribumi.
Di sisi lain, tak sedikit pihak yang menentang aturan tersebut. Partai Komunis Indonesia, salah satunya. Melalui majalah resmi PKI dan Perwakilan (edisi 1999), PKI beranggapan bahwa tindakan pemerintah salah langkah dan kental nuansa rasialis.
"Peraturan tersebut tidak menjamin akan hapusnya kekuasaan asing atas kehidupan ekonomi Indonesia dan liberalisme di lapangan ekonomi," tulis PKI.
PKI memaparkan fakta bahwa Rachmat hanya anti-Tionghoa, tidak asing, sehingga menguatkan bukti kalau dirinya rasis. Buktinya, partai yang diketuai D.N Aidit itu menyebut di saat aturan itu rilis, Menteri Perdagangan malah menyetujui penanaman modal besar dari Jepang.
"Menggemborkan penentang warung asing tapi malah mengelu-elukan masuknya modal asing lebih banyak lagi adalah demagogi dan bersifat mengelabui mata rakyat," tegas PKI.
Ditambah lagi, PKI berargumen justru keberadaan bisnis orang Tionghoa di pedesaan-lah yang bisa membangkitkan ekonomi rakyat kecil. Meski begitu, argumen-argumen protes hanya dianggap angin lalu.
Jawabannya tidak dan malah makin kacau. Padahal, sudah tak ada lagi orang Tionghoa yang selama ini dianggap mengganggu oleh negara.
Menurut Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia (2009), kebijakan tersebut tak memberi manfaat apapun kepada negara dan malah mendorong kecenderungan inflasi, serta menjadikan orang Tionghoa sebagai warga kelas dua.
Thee Kien Wie juga mencatat hal serupa. Sepeninggal warga Tionghoa, bisnis-bisnis mereka malah tak ada yang mengurus.
Sebab, tak ada pengusaha pribumi yang mampu mengelolanya. Akibatnya, gangguan ekonomi terjadi cukup besar di Indonesia.
Di tingkat internasional, kebijakan ini merusak kemesraan Indonesia-China. Sentimen anti-Indonesia menggaung di China. Akan tetapi, tensi politik ini menurun seiring meningkatnya kesadaran Soekarno.
Soekarno sadar pelarangan tak membuat ekonomi Indonesia membaik. Malah makin buruk. Kita semua tahu bahwa episode 1960-an ekonomi Indonesia dihiasi oleh tingginya bahan pangan, defisit anggaran, hingga hiperinflasi. Semua itu ditambah ada tentangan dari China.
Pada akhirnya, peraturan tersebut dihentikan sementara. Namun, sampai akhir masa jabatan, peraturan rasialis itu diketahui tak pernah dilanjutkan lagi oleh Soekarno.