Pakar dari Australia mengungkapkan motif pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) membagi konsensus tambang ke organisasi masyarakat berbasis agama.
Menurut pengamat politik dan internasional Universitas Murdoch, Ian Wilson, jika dilihat dari perspektif pemerintah dan politik, keputusan pemerintahan Jokowi ini sebagai bagian dari upaya mengurangi kesenjangan sosial. Namun, ia juga mencium ada upaya "balas jasa" terkait kebijakan yang diloloskan baru-baru ini.
"Secara resmi, argumen pemerintah adalah bahwa ini suatu cara untuk menyejahterakan rakyat dan ketimpangan sosial dan ekonomi lewat menyejahterakan organisasi masa," kata Wilson saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (10/6).
Secara politis, Wilson menganggap langkah itu sebagai "transaksionalisme" atau cara untuk membalas budi ormas agama tertentu yang mendukung pemerintah", termasuk dalam memenangkan presiden selanjutnya.
Salah satu yang menerima konsesi tambang itu adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Dalam pemilihan presiden pada Februari, Ketua PBNU Yahya Cholil Staquf menegaskan organisasi akan selalu mendukung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming.
Adik Yahya yang juga Menteri Agama sekaligus ketua Gerakan Pemuda Ansor pada 2016 Yaqut Cholil Staquf juga secara tak langsung mendukung pasangan nomor urut 2 dalam Pilpres.
Selain itu, PBNU juga selama ini disebut dekat dengan pemerintah.
Pembagian konsesi tambang, lanjut Wilson, sekaligus menjadi strategi mengikat Ormas ke jaringan kepentingan pemerintah selanjutnya.
Dia lantas mengatakan keputusan pemerintah soal pembagian tambang perlu dilihat dalam konteks iklim dan politik transisi energi.
Pemerintah menawarkan konsesi batu bara dengan cukup besar ke PBNU. Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara ke NU disebut sedang dalam proses.
Wilson memandang industri batu bara dan kepentingan mereka secara global menjadi hambatan besar transisi energi.
Pemerintah Indonesia, lanjut dia, seharusnya melakukan upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim bukan membagikan konsesi tambang ke organisasi masyarakat.
"Dengan membagi konsesi batu bara ke ormas seperti NU, industri yang mencemari ini akan dibela dan diberikan legitimasi dengan dalih agama," ujar Wilson.
Penggunaan dalih-dalih agama ini sudah terlihat saat sejumlah tokoh PBNU memberi pernyataan soal konsesi tambang.
"Beberapa tokoh PBNU memframe [membingkai] ini sebagai kesempatan NU untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, walaupun tidak ada masa depan pengelolaan batu bara," lanjut Wilson.
Awal Juni lalu, Gus Yahya mengapresiasi dan menyebut kebijakan pemerintah sebagai "langkah berani" dan terobosan "penting."
"Untuk memperluas pemanfaatan sumber daya-sumber daya alam yang dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat secara lebih langsung," kata Gus Yahya dalam rilis resmi.
NU juga menegaskan kesiapan mereka untuk mengambil peran aktif dalam pengelolaan tambang, dengan menjanjikan transparansi dan akuntabilitas dalam operasi bisnis.
Organisasi keagamaan lain seperti Muhammadiyah menyatakan akan mengkaji terlebih dahulu soal pemberian izin kelola tambang.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan organisasi ni belum bersikap bakal menolak atau menerima pemberian tersebut.
"Tidak akan tergesa-gesa dan mengukur diri agar tidak menimbulkan maslahah bagi organisasi, masyarakat, bangsa, dan negara," kata Mu'ti dalam rilis resmi, Minggu (9/6).
Sementara itu, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Konferensi Waligereja Katolik Indonesia (KWI) secara tegas menolak memanfaatkan kesempatan itu.
Komentar Wilson ini muncul usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengizinkan Ormas keagamaan mengelola tambang di Indonesia.
Ketentuan ini ditetapkan melalui PP No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 soal Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Aturan tersebut mengizinkan ormas keagamaan, seperti NU hingga Muhammadiyah untuk mengelola tambang tertuang dalam pasal 83A.
Pasal itu menyatakan ormas keagamaan kini bisa memiliki wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).
Selain Ian, media berbasis di Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), juga menyoroti soal dugaan praktik politik transaksional yang dilakukan Jokowi dengan memberikan izin tambang ke ormas.
Dalam artikel berjudul 'Indonesia's Jokowi accused of 'transactional politics' over religious mining permits', analis menilai kebijakan ini diharapkan bisa menjamin para ormas yang diberi izin tambang agar tetap mendukung Jokowi bahkan sesudah sang presiden lengser Oktober nanti.