Jakarta - Fatwa salam lintas agama yang ditetapkan melalui Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia menuai komentar dari sejumlah pihak. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengeluarkan sikap dan rekomendasi soal salam lintas agama.
Dalam pernyataan sikap BPIP yang diterima, Senin (10/6/2024), ada lima poin sikap dan rekomendasi. BPIP menilai hasil ijtima merupakan pemikian agama yang memiliki tafsir majemuk, bukan mutlak sehingga tak memiliki kebenaran tunggal dan absolut.
"Hasil ijtima harus dibentuk atas perspektif yang luas," demikian salah satu poin dalam penyataan sikap dan rekomendasi BPIP.
Dalam pengantarnya, BPIP menilai terbitnya hasil ijtima tersebut bisa berpotensi merusak kemajemukan warga negara. Sebab, lanjut BPIP, Indonesia memiliki 714 etnis, keragaman dan kepercayaan.
"Eksistensi ini telah berlangsung ratusan tahun, hidup berdampingan secara damai, sekaligus menjadi kearifan bangsa, sehingga negara tidak boleh tunduk kepada hasil ijtima yang menyebabkan terjadinya eksklusifitas dalam kehidupan bernegara dan berbangsa," tulis BPIP.
Berikut sikap dan rekomendasi lengkap BPIP soal salam lintas agama:
1. Secara teologis, terdapat perbedaan antara agama dan pemikiran agama, agama dan penafsiran agama. hasil ijtima adalah pemikiran agama yang memiliki tafsir yang majemuk bukan mutlak sehingga tidak memiliki kebenaran yang tunggal dan absolut. hasil ijtima harus dibentuk atas perspektif yang luas, termasuk mempertimbangkan dokumen dan kesepakatan internasional seperti The Amman Message, 9 November 2004; Marrakesh Declaration, 25-27 Januari 2016, tentang Hak-hak Minoritas Beragama di Dunia Islam; Abu Dhabi Declaration, 4 Februari 2019, tentang Persaudaraan Umat Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Kehidupan Bersama (Declaration on Human Fraternity for World Peace and Living Togerher); juga kesimpulan seminar internasional, Universitas AlAzhar, Kairo, 27-28 Januari 2020; serta harus diuji secara publik. Pancasila sebagai ijtihad yang sudah disepakati oleh semua pihak (sehingga menjadi ijma/konsensus tertinggi, terlengkap, dan paling mengikat/binding) memiliki derajat keislaman yang telah diuji dan dibuktikan secara substantif. Pancasila tidak dihegemoni oleh ajaran agama tertentu, namun Pancasila merepresentasi substansi dari ajaran agama. Dalam negara Pancasila, ajaran Islam yang bersifat "Ubuddiyyah" dipegang teguh secara pribadi dan menjadi spirit dan inspirasi dalam mengaktualisasi moralitas diri menjadi manusia yang berkualitas dalam ber-"Muamalah", baik bermuamalah secara sosial maupun berkenegaraan. Agama menjadi inspirasi batin dalam merepresentasikan nilai kemanusiaan dan persatuan yang tinggi, sehingga semakin beragama seseorang, semakin ia akan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
2. Secara sosiologis, hasil ijtima tentang pelarangan ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa yang sejak dahulu kala telah terkristalisasi menjadi sebuah kearifan lokal. Tradisi ini telah menjadi bagian yang diwariskan sejak ratusan tahun oleh nenek moyang kita. Keutuhan bangsa yang telah hidup ratusan tahun ini tidak boleh direduksi oleh kelompok keagamaan tertentu yang berpotensi mempolarisasi, mendisharmonisasi dan mendisintegrasi keutuhan berbangsa.
3. Secara yuridis Islam, hasil ijtima hanya memiliki daya yang mengikat secara internum umat muslim dalam forum keagamaan muslim, sehingga tidak boleh dipaksakan ke dalam forum publik secara eksternum karena akan mereduksi nilai-nilai persatuan dan penghargaan terhadap kemajemukan berbangsa.
4. Secara konstitutif, Pancasila sebagai dasar hukum tertinggi harus menjadikan seluruh kebijakan tunduk dan mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Pancasila menjadi pedoman dalam setiap penyusunan produk hukum dan kebijakan yang menyangkut kepentingan umum.
5. Kehadiran negara dan peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga eksistensi Pancasila di ruang publik demi terciptanya kesetaraan bagi setiap warga negara. Bahwa setiap yang telah menyatakan dirinya sebagai bangsa Indonesia, dan memiliki KTP Warga Negara Indonesia, wajib melaksanakan konsensus Pancasila, yang dalam hal ini dengan melaksanakan toleransi dan menghormati perbedaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.