Pembangunan dan tata kelola desa menjadi prioritas utama dalam pemerintahan Presiden Jokowi selama dua periode. Ini juga menjadi strategi politik yang efektif untuk pembangunan ekonomi. Mulai dengan gagasan Nawacita, terutama bagian ketiga, yang berbicara tentang membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat desa dan daerah pinggiran dalam kerangka negara kesatuan. Setelah diterapkan, strategi ini menghasilkan restorasi sosial yang sukses yang melindungi semua warga Indonesia.
Strategi itu berlanjut, dan ketika mau berakhir masa jabatannya, ditetapkannya undang-undang tentang desa yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024. Pemerintah desa menerima kembali niat baik itu. Bahkan, menurut undang-undang tersebut masa jabatan kepala desa (kades) adalah 8 tahun dan dapat dipilih lagi untuk periode kedua, sehingga total 16 tahun. Pasal ini menjadi isu publik yang viral dan penting. Ini adalah asumsi yang baik untuk melakukan pembangunan di desa, tetapi perlu diawasi secara ketat saat melakukannya karena ada kemungkinan terbentuknya oligarki di desa.
Secara teoritis, oligarki adalah sistem atau keadaan di mana sejumlah kecil individu atau kelompok memiliki kontrol yang signifikan atas sumber daya ekonomi, politik, atau sosial pada entitas politik seperti negara, pemerintah daerah, atau organisasi. Mereka memiliki kekuasaan atau pengaruh politik yang signifikan (Robert Michels, 1911).
Dalam sejarah kehidupan bersama, terjadinya sistem oligarki disebabkan beberapa hal mendasar. Pertama, pada konteks negara adanya kendali atas institusi dan proses politik dalam bernegara atau berpemerintahan. Ketika seseorang atau kelompok tertentu memiliki kontrol yang signifikan atas institusi politik seperti parlemen, eksekutif, atau lembaga yudikatif, mereka dapat menggunakan kontrol ini untuk memengaruhi kebijakan publik, proses legislatif, atau pemilihan pejabat penting.
Kedua, oligarki terbentuk ketika sejumlah kecil individu atau kelompok mengontrol akses dan distribusi sumber daya yang penting, seperti kekayaan ekonomi, tanah, infrastruktur, atau sumber daya alam. Kekuasaan mereka dalam mengendalikan sumber daya ini memungkinkan mereka untuk memengaruhi keputusan politik dan ekonomi yang memengaruhi banyak orang.
Ketiga, oligarki terjadi ketika masyarakat tergantung pada sejumlah kecil individu atau kelompok yang memiliki kontrol yang signifikan atas sumber daya ekonomi, politik, atau sosial. Ini dapat terjadi karena hubungan patron-klien yang dibangun oleh oligarki untuk mempertahankan kekuasaan mereka atau karena akses masyarakat yang terbatas terhadap sumber daya seperti informasi.
Keempat, ketika tidak ada pilihan politik yang kuat atau legitimasi yang cukup bagi partai atau individu lain untuk berkompetisi secara efektif dalam proses politik. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti masalah hukum, kekuatan keuangan, atau masalah organisasi.
Yang terakhir, oligarki sering dikaitkan dengan ketimpangan ekonomi dan sosial. Mereka yang memiliki status sosial atau ekonomi yang makmur cenderung memiliki akses yang lebih besar ke sumber daya dan kekuasaan politik.
Dari ulasan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa oligarki dalam tataran praktis bisa menyebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi yang besar, mereduksi kemajuan demokrasi, serta mengurangi kesempatan bagi masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup mereka secara adil dan berkelanjutan. Apalagi jika terjadi di tingkat desa, dampak buruk akan sangat terasa bagi masyarakat desa.
Kekhawatiran
Sebagai suatu keadaan saat sejumlah kecil individu atau kelompok memiliki kontrol yang signifikan atas sumber daya ekonomi, politik, atau sosial, maka oligarki tidak hanya terbatas dapat terjadi pada konteks politik negara. Kondisi ini dapat juga terjadi di tingkat lokal seperti di desa ketika ada pola masa jabatan kades 8 tahun dan dapat dipilih kembali pada periode kedua. Dalam konteks desa, situasi ini patut untuk diwaspadai karena seorang kades dapat menjabat selama 16 tahun, waktu yang cukup lama untuk membangun dan memperkuat kekuasaan dan pengaruh di tingkat desa. Mereka dapat memanfaatkan waktu yang lama ini untuk membangun jaringan politik, membangun hubungan patron-klien yang kuat, dan menumbuhkan keinginan untuk terus berkuasa dalam lingkup keluarganya atau orang dekat sekitarnya, sehingga dinasti kekuasaan bisa terjadi.
Kekhawatiran yang lain adalah bahwa seiring berjalannya waktu, masyarakat desa mungkin menjadi terbiasa dengan kehadiran dan kepemimpinan seorang kades yang lama menjabat, apalagi pada kondisi di desa yang guyub. Hal ini bisa menciptakan ketergantungan dan loyalitas yang kuat terhadap kades tersebut, sehingga membuat masyarakat sulit untuk menentangnya atau mencari alternatif kepemimpinan. Seorang kades yang memegang kekuasaan untuk jangka waktu yang lama cenderung memiliki pengaruh yang kuat terhadap struktur politik di desa dan mungkin mengontrol proses pemilihan atau penunjukan kades berikutnya. Hal ini bisa menyebabkan terpilihnya kades yang sejalan dengan keinginan dan kepentingan petahana kades.
Kades yang lama menjabat dapat mengendalikan sumber daya desa seperti anggaran, proyek pembangunan, serta alokasi bantuan sosial yang belakangan ini jumlahnya semakin banyak dan besar. Dengan kendali atas sumber daya ini, mereka dapat memanfaatkannya untuk memperkuat posisi politik mereka dan memengaruhi pilihan politik warga desa. Pada tataran ini maka dapat berdampak pada menurunnya tingkat akuntabilitas. Lama menjabat bisa mengurangi tingkat akuntabilitas seorang kades karena masyarakat menjadi terbiasa dengan kehadirannya dan mungkin tidak lagi mengawasi tindakannya secara ketat. Kurangnya mekanisme pengawasan yang efektif dapat memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi dapat menjadi ladang subur untuk tumbuh kembang di desa, sebagaimana praktik buruk yang terjadi pada otonomi daerah. Ingatlah kata Lord Acton bahwa power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely. (Hendrikus T Gedeona - Dosen STIA LAN Bandung)