Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Pasca Pemilu 2024, umat Islam Indonesia semakin muak dengan demokrasi. Borok-borok demokrasi, makin terlihat karena aktivitas saling bongkar para politisi dalam Pemilu 2024.
Sidang di MK, menunjukkan betapa rusaknya sistem demokrasi ini. Dua kubu yang dulunya satu kondisi, sekarang saling serang. Partai yang dulu pro penista agama (Ahok), terlihat pertarungan kuat di kubu 02 dan 03. Sementara kubu 01, juga dikhianati oleh Parpol pengusung yang kebelet merapat, dengan mengucapkan selamat pada pemenang pemilu curang.
Gaya politik para elit, tak ubahnya mafia. Saling Sandra. Koar-koar hak angket, ternyata hanya pepesan kosong. Hanya jadi alat kompromi dan negosiasi politik.
Sementara parade hukum di MK, hanya akan melegitimasi kemenangan Pilpres curang. Sidang MK hanya dagelan, karena keputusannya sudah dapat dibaca jauh sebelum agenda pembacaan putusan dilaksanakan.
Ujungnya MK hanya akan pamer disetting opini. Namun substansinya tetap sama: melegitimasi keadaan. Dan pada akhirnya, siapa pun yang berharap perubahan dari sistem demokrasi, sekali lagi akan tertipu, setelah sebelumnya tertipu berulang kali.
Banyak pihak, sudah berazam akan golput. Namun, pilihan golput adalah pilihan tenggelam. Karena hanya marah, tapi tak punya solusi.
Sementara itu, arah dakwah Khilafah semakin mengokohkan kedudukannya. Solusi Khilafah, semakin mendapatkan momentum dan relevansinya.
Memang benar, ada sebagian yang wait n see, karena situasi politik belum stabil. Namun rendahnya dukungan massa pada sidang MK, menunjukkan adanya peningkatan kesadaran secara implisit (syukuti), bahwa parade hukum di MK hanyalah permainan politik para elit untuk melegitimasi pemilu curang. Peristiwa Pilpres 2019, benar-benar menjadi pelajaran berharga, sehingga sejumlah simpul politik enggan mengerahkan massanya, karena tak mau kembali dieksploitasi oleh elit untuk kendaraan merapat pada kekuasaan, seperti yang dilakukan oleh Prabowo pada tahun 2019.
Perihal dakwah Khilafah, semakin mantab menunjukkan jatidirinya, dalam kebimbangan umat akan masa depannya. Diskursus Khilafah semakin mendapat tempat, terutama setelah umat benar-benar menyadari demokrasi hanya alat tipu-tipu penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Perlahan, rasionalisasi dan logika praktis Khilafah tegak di Indonesia makin logis secara nalar, makin aktual secara realita. Perlahan-lahan, Khilafah mulai bergeser, dari semula dianggap utopis, menjadi keyakinan sebagai solusi praktis.
Kelak, saat Khilafah tegak di Indonesia, maka umat Islam akan kembali berjaya. Dan dari Indonesia, Khilafah akan menyatukan seluruh negeri Islam, dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. [].