Untuk ketiga kalinya Komunitas Cinta Pemilu Jujur Adil (KCP-Jurdil) mengajukan permohonan AUDIENSI ke Mahkamah Agung Republik Indonesia agar segera bersikap atas Pemilu 2024.
Kali ini pada Senin (18/3) siang perwakilan dari KCP-JURDIL mendatangi Mahkamah Agung yang terletak di Jalan Medan Merdeka Utara No. 9-13. Jakarta Pusat - DKI Jakarta Indonesia 10110.
Mereka tetap memohon kepada Mahkamah Agung agar memberikan jawaban permintaan audiensi dalam rangka permohonan segera diterbitkan/ keputusan _Supreme Court Order_ terhadap *pelanggaran hukum* yang terjadi dengan diloloskannya pasangan yang tidak memenuhi syarat dalam UU nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan KPU sendiri mengikuti Pemilu bagi Calon Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2024.
" Praktik Kecurangan yang sangat nyata didominasi oleh tangan kekuasaan yang ikut campur tangan dan berpihak kepada Paslon nomor 2." Ucap Said SH
Said menilai saat ini telah terjadi darurat hukum dimana terjadi pelanggaran hukum sejak ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 Tahun 2023; putusan KPU yang menerima paslon yang tidak memenuhi syarat UU nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan KPU sendiri atas batas usia minimal 40 tahun; hingga Putusan DKPP yang tidak tegas dalam mengeluarkan sanksi terhadap KPU yang jelas-jelas melanggar hukum dan Undang-Undang.
Menurut Said tindakan KPU dikategorikan sebagai *pelanggaran hukum* dengan memberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90 Tahun 2023 pada Oktober 2023 seolah sebagai Undang-Undang yang baru dan menjadi pintu masuk ke KPU.
"Pelanggaran Hukum yang dilakukan oleh KPU dengan menerima mentah-mentah pengajuan pencalonan 25 Oktober 2023 tanpa menunggu Undang-Undang Pemilu dirubah oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlebih dahulu. Padahal DPR lah yang mempunyai kewenangan membuat undang-undang bersama Presiden merupakan kejahatan demokrasi."Lanjut Said.
Ia menilai tindakan yang dilakukan oleh KPU *sangat bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam melaksanakan Undang-undang Pemilu No 7 Tahun 2017.* Dimana saat ini telah terjadi pelanggaran hukum yang termaktub dalam Ketentuan yang diatur dalam Pasal 169 tentang Persyaratan nenjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pada huruf (q) yang berbunyi berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
"Penerimaan Gibran Rakabuming Raka dilakukan tanpa adanya amandemen UU pemilu no 7 tahun 2017 terlebih dahulu oleh DPR, melainkan langsung dilaksanakan oleh KPU. Artinya, KPU sudah melewati batas wewenang dalam melaksanakan tugasnya." Tandas Said pula.
*Sebagai Lembaga Tinggi Hukum di negeri ini, maka Said yang tergabung dalam* *Komunitas Cinta Pemilu Jujur dan Adil (KCP-Jurdil)* memohon kepada *Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk mengambil langkah hukum menghentikan carut marut pelaksanaan hukum di negeri ini.*
Alasan Said, Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah Lembaga Tinggi Negara selain Lembaga Tinggi Presiden dan Lembaga Tinggi DPR yang dapat segera menerbitkan _Supreme court order_ untuk membatalkan Keputusan KPU yang menerima Paslon Nomor 2 karena telah nyata-nyata sebagai proses dan produk yang melanggar hukum dari sejak dari Mahkamah Konstitusi, KPU hingga DKPP. Mininal kami mendapatkan jawaban dua/tiga surat yang telah dikirim pada Senin (12/2) dan Jumat (16/2) dengan bukti surat tanda terima terlampir.
Menurut Said, semua orang tahu bahwa KPU menerima pendaftaran Paslon nomor 2 pada 25 Oktober 2023 setelah adanya Keputusan MK No. 90 Tahun 2023 tanpa adanya perubahan lebih dahulu dari peraturan KPU dan tanpa memperhatikan bahwa Keputusan MK yang sudah melampaui wewenangnya merubah UU NOMOR 7 Tahun 2017.
Padahal kita tahu membuat Undang-Undang adalah domain DPR bukan Mahkamah Konstitusi yang telah mengeluarkan keputusan seolah setara dengan Undang-Undang dengan menyisipkan tafsir baru yang membolehkan peserta capres dan cawapres dengan klausa baru "dan/atau pernah menjabat sebagai kepala daerah dari hasil Pilkada" dst.
"Berdasarkan penjelasan di atas, maka yakin bahwa saat ini telah terjadi praktik kenegaraan yang tidak lagi berdasarkan atas hukum ( _rechtsstaat_ ) melainkan berdasarkan kekuasaan ( _machtstat_) semata."Tutup Said.