Oleh: M Qasim Mathar - Cendekiawan Muslim, Pendiri Pesantren Matahari
Sebuah sumber diindeks oleh Google sekitar 10 tahun silam, berjudul “Sejarah Pemakzulan Presiden di Indonesia”, ditulis oleh Noviarizal Fernandez dan dieditori oleh Wahyu Arifin.
Sumber lama itu, saya kutip pokok-pokoknya di sini sehubungan dengan munculnya kembali kata pemakzulan saat kita dalam suasana selesai pilpres.
Dalam sejarah Indonesia, pemakzulan presiden terjadi pada Proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Indonesia, Soekarno (Bung Karno).
Beliau dimakzulkan karena pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Tuduhan terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S/PKI), yang diikuti berbagai aksi protes dan tuntutan dari kalangan terpelajar yang semakin merebak, Bung Karno pun makzul (1966).
Presiden Soeharto (Pak Harto), tokoh militer yang mengambil kendali suasana sebelum dan setelah pemakzulan Bung Karno, yang memerintah sangat lama lebih 30 tahun, bernasib sama, dimakzulkan pula oleh gerakan reformasi (1998).
Serupa tapi tidak sama dengan Pak Harto, Presiden B.J.Habibie pengganti Pak Harto, yang memerintah hanya beberapa bulan, dipaksa berhenti, seolah dimakzulkan oleh MPR yang menolak pidato pertanggungjawabannya.
Presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur dipicu oleh laporan yang disampaikan Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait dugaan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar US$ 4 juta dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar US$ 2 juta, bernasib kena pemakzulan pula serupa tiga presiden pendahulunya.
Skandal dana Century yang tak kunjung terungkap nyaris memakzulkan presiden SBY.
Hanya presiden Megawati yang tidak dimakzulkan tapi juga tidak diberi peluang untuk terpilih meneruskan kepresidenannya yang mengganti Gus Dur yang dimakzulkan.
“Gus Dur itu jatuh sebenarnya dari sudut hukum tata negara, tidak sah. … saya punya disertasi tentang politik hukum. Kalau di dalam hidup bernegara, hukum adalah produk politik. Kalau politik menghendaki, hukumnya tidak mendukung, politiknya itu membuldoser hukum. Itu bisa terjadi sampai sekarang,” begitu ujar Mahfud MD ketika itu.
Sejarah pemakzulan presiden di Indonesia mencatat seraya dibanggakan sebagai pelopornya adalah kaum akademisi, pemuda, pelajar dan mahasiswa.
Tetapi, jangan lupa dicatat pula, bahwa selalu ada politisi dan aneka kepentingan di belakang setiap pemakzulan.
Saya yakin, pemakzulan saat ini, yang digaungkan oleh kalangan akademisi, di sebagian kampus di Jawa, tentu di belakang keinginan itu siap-siap bermacam jenis politisi dengan aneka ragam kepentingannya pula, bergairah menunggu dan memanfaatkan momentum pemakzulan, agar bisa menjadi “berkah” bagi kepentingan masing-masing.
Presiden-presiden kita dimakzulkan. Apakah kita sedang membangun tradisi pemakzulan presiden? Lalu, sesudahnya, kita cela juga setiap presiden penggantinya, lalu kita makzulkan lagi?
Seorang penulis pengamat menulis:
“Semua berharap tidak ada lagi pemakzulan terhadap presiden. Cukuplah, Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur, juga pak Habibie yang menjadi korbannya. Pemakzulan akan sangat traumatis dan stigma yang tercatat sepanjang sejarah perjalanan bangsa…” Ya, pemakzulan adalah jalan keras demokrasi!. ***